Wawasan

E-katalog Catatan Pari/ Sebungkus bawang putih dan relasi lintas generasi/ September 2020

Penulis: Anang Saptoto

Pelanggan-pelanggan 4.0 (Karren)

 

Suatu hari, seorang teman bertanya kepada saya tentang asal usul bawang putih yang saya jual di kios Panen hari ini (Pari). Setidaknya ada 2 penanya yang saya catat, pelanggan Pari dan orang lain. Kemudian saya bertanya kepada Pak Ustaz Sofyan, petani Kulonprogo yang membantu memasok panen Pari. Beliau menjawab bahwa ia mendapatkan bawang putih dari adiknya, yang membelinya dari pengepul tetangga di satu desa. Ada banyak hasil pertanian yang dikumpulkan dan dijual di tempat pengepul tersebut. Pak ustaz Sofyan menjelaskan bahwa satu jenis hasil panen saja bisa memiliki berbagai varian. Akan sulit jika kita mau mengidentifikasinya. Selain itu masalah ketersediaan, tidak bisa hanya bergantung pada hasil panen dari satu daerah saja. Oleh karena itu, perlu adanya pasokan panen dari beberapa daerah.

Pikiran saya melayang-layang saat mendengarkan jawaban Pak Ustaz Sofyan. Saya kembali mencerna tujuan awal saya memulai ide Panen apa hari ini (Pari). Yaitu melakukan jalur distribusi hasil pertanian secara alternatif dengan menggabungkan pekerjaan antara seni dan pertanian. Pada prinsipnya, kami mengutamakan pengadaan hasil panen dari petani di sekitar Kulonprogo, meskipun kedepannya Pari berharap dapat bekerja sama dengan kelompok-kelompok tani di daerah lain.

Jenis tanaman yang ditanam di Kulonprogo juga terbatas, terutama di daerah pesisir dengan karakter tanah pasir. Menurut Mas Qomar, salah satu pegiat Sekolah Tani Muda. Tanaman yang ditanam di wilayah Kulonprogo adalah jenis tanaman yang biasa tumbuh di tanah dataran rendah dan tahan panas. Namun, tanaman seperti bawang putih, kentang, dan sebagainya kemungkinan besar biasanya ditanam di daerah dataran tinggi. Oleh karena itu, sangat istimewa jika bawang putih dapat ditanam di daerah pesisir atau dataran rendah.

Sulit untuk membuktikan asal daerah penanaman bawang putih yang ada di pasaran. Banyak spekulasi yang muncul yang mengatakan bahwa bawang putih ini pasti diimpor dari Cina. Meski demikian, banyak orang mengatakan bawang putih yang beredar di Kulonprogo ditanam di Kulonprogo. Ciri-cirinya adalah masih menyatu atau tidak terpisah per bijinya, bawang putih seperti ini sering disebut dengan bawang putih Jawa. Jawaban yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Tini atau yang biasa saya panggil Bulik Tini dalam sebuah obrolan singkat di telepon.

 

Warung lele di tengah desa

Bulik Tini adalah adik perempuan dari almarhum ayah saya. Kebetulan, di antara sekian banyak saudara ayah saya, Bulik Tini adalah adik yang paling sering saya temui. Bulik Tini tinggal di tengah kota Yogyakarta, di sebuah kampung padat penduduk di tepi Sungai Code. Tepat di belakang Hotel Santika. Bulik Tini adalah sosok yang sederhana, ia membuka warung pecel lele di tengah kampung. Awalnya, Bulik Tini mendirikan tenda untuk berjualan di pinggir jalan, namun karena faktor usia. Ia dan suaminya memilih untuk berjualan di depan gang rumahnya.

Suatu hari Bulik Tini mengirimi saya pesan singkat di Facebook menanyakan tentang bawang putih yang ia lihat di iklan Panen Raya Indonesia (PARI) ke-4. Tanpa banyak tanya, saya langsung meneleponnya untuk mengkonfirmasi apa yang dia butuhkan. Singkat cerita, Bulik Tini ingin membeli 3 kg bawang putih dan 1 kg pepaya. Kemudian sebelum menutup pembicaraan, ia menegosiasikan harga dan kami sepakat, bahwa ia mendapatkan harga khusus karena satu dan lain hal. Saya mengatakan kepadanya bahwa stok bawang putihnya mungkin tidak cukup untuk 3 kg dan saya akan mencoba menimbangnya terlebih dahulu. Ternyata, hanya ada 1,5 kilo bawang putih yang tersedia, sambil bercanda dia berkata “Jangan beli terlalu banyak, biar saya beli lagi minggu depan”. Kami mengakhiri telepon dengan tertawa dan berbicara tentang bawang dan kehidupan.

Sabtu pukul 20.00, saya mengantarkan pesanan Bulik Tini di warung pecel lelenya. Saat saya tiba, dia dan suaminya tampak sedang menunggu pelanggan di tengah kesunyian. Dinginnya udara membekukan pikiran saya, apakah ini akan terus terjadi di situasi pandemi seperti ini. Kemudian setelah saya menyerahkan semua pesanan saya mencoba untuk duduk sejenak, saya ingin mendengar bagaimana kabar Bulik Tini dan usahanya pada masa sulit ini. Sambil mengulur waktu, saya memesan 3 ekor lele goreng tanpa nasi untuk dibawa pulang. Saya selalu ingat bahwa Aning sangat suka makan lele. Bulik Tini juga menyediakan pisang goreng, tempe, tahu dan bakwan jagung. Sementara saya menunggu, tiga orang datang dan pergi. Memesan telur, tempe dan tahu. Tampaknya masih banyak yang berminat membeli, meski beberapa orang memilih menu-menu yang harganya terjangkau. Bulik Tini bercerita bahwa pembeli di warungnya menurun setelah adanya imbauan pemerintah untuk tidak keluar rumah. Daya beli menurun, mungkin karena masyarakat takut jika keluar rumah akan terjangkit korona.

Kesulitan ekonomi pada masa pandemi berdampak besar pada penyedia jasa atau produk seperti warung pecel lele Bulik Tini. Warung yang berada di tengah kampung ini sebenarnya masih bisa berjalan meski tertatih-tatih, karena pasarnya adalah tetangga sekitar. Namun, hal ini diperparah dengan banyaknya akses jalan yang ditutup. Pemerintah tidak menyatakan lockdown, namun di berbagai daerah kemudian memutuskan untuk menutup akses jalan keluar masuk desa. Ketidaktegasan ini menimbulkan kebingungan di kalangan warga. Pilihan untuk tidak mengeluarkan kebijakan lockdown memang merupakan pilihan yang cerdas, karena jika kebijakan tersebut muncul, tidak hanya warga tetapi hewan peliharaan pun akan menerima manfaat selama masa lockdown.

Bulik Tini mungkin adalah satu dari sekian banyak orang di Yogyakarta yang merasakan dampak dari sektor usaha kecil. Menjalani hari-harinya di tengah kota yang mulai sesak dengan gedung-gedung bertingkat yang arogan. Ketegasan pemerintah ditantang, pada satu sisi kita dihimbau untuk tetap tinggal di rumah, namun di sisi lain dapur harus tetap mengepul. Meski penuh risiko, sebagian dari mereka memilih tetap beraktivitas dan bekerja di luar rumah. Menggadaikan keselamatan, karena berdiam diri di rumah juga menjadi pilihan yang konyol karena tidak menghasilkan uang.

 

Kebiasaan baru dan kelangsungan hidup

Ikan lele terakhir dikeluarkan dari wajan. Aromanya mengundang nafsu makan, membangunkan lamunan untuk menyelami kisah Bulik Tini. Saya bertanya padanya apakah dia tertarik jika saya membantunya menjualnya secara daring. Tanpa pikir panjang, Bulik Tini menjawab “Ya!”. Seperti rumput kering yang disiram air dari keran, ide-ide lain datang silih berganti. Saya membantu Bulik Tini membuat daftar barang yang biasa dijual di warungnya. Saya juga bertanya apakah dia bersedia memberikan layanan antar gratis di wilayah Yogyakarta jika ada yang membeli. Terakhir, kami mendiskusikan sistem pembayaran. Kami sangat senang, menemukan ide dan harapan baru.

Bawang putih, bawang merah, cabai rawit dan cabai keriting merupakan bahan pokok untuk memasak segala jenis masakan. Ketersediaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Pertanyaannya adalah seberapa besar fleksibilitas yang dimiliki para petani dalam menjawab tantangan di sektor pangan ini. Mengingat tsunami impor bahan pangan pokok, belum lagi masalah alih fungsi lahan. Penggusuran mengancam lahan-lahan petani di wilayah pesisir dan wilayah strategis lainnya. Mereka terpojok dengan pilihan pemerintah untuk membuka seluas-luasnya investor di sektor pariwisata. Kita bisa melihat munculnya bandara-bandara internasional baru di berbagai daerah di Indonesia, diiringi dengan terus berkembangnya kota-kota bandara di sekitarnya. Hal ini merambah lahan pertanian dan kehidupan di sekitarnya.

Kebutuhan pokok sangat dibutuhkan dalam situasi apa pun, terutama pada masa pandemi ini. Ketika daya beli menurun, hal ini juga memengaruhi harga panen. Membuat para petani makin terpuruk. Pilihannya ada di tangan kita masing-masing, untuk bersikap acuh tak acuh dan mengonsumsi apa pun yang tersedia di supermarket, atau lebih teliti dan memilih bahan makanan dari petani lokal di sekitar kita.

The other day, a friend asked me about the origin of the garlic I sell at the Harvest stall today (Pari). There were at least 2 questioners that I noted, Pari customers and other people. Then I asked Mr. Ustaz Sofyan, a Kulonprogo farmer who helps supply Pari’s harvest. He replied that he got the garlic from his brother, who bought it from a neighboring collector in one village. There are many agricultural products that are collected and sold at the collector’s place. Pak Ustaz Sofyan explained that one type of crop can have various variants. It will be difficult if we want to identify it. In addition to the problem of availability, it cannot only depend on crops from one region. Therefore, it is necessary to supply crops from several regions.

My mind drifted while listening to Mr. Ustaz Sofyan’s answer. I digested my original goal of starting the idea of Panen apa today (Pari). That is to carry out alternative distribution channels for agricultural products by combining work between art and agriculture. In principle, we prioritize the procurement of crops from farmers around Kulonprogo, although in the future Pari hopes to work with farmer groups in other areas.

The types of plants grown in Kulonprogo are also limited, especially in coastal areas with sandy soil characteristics. According to Mas Qomar, one of the activists of Sekolah Tani Muda. The crops planted in the Kulonprogo region are types of crops that usually grow in low-lying, heat-resistant soils. However, crops such as garlic, potatoes, and so on are most likely usually grown in highland areas. Therefore, it is very special if garlic can be grown in coastal or lowland areas.

It is difficult to prove the regional origin of the garlic grown in the market. Many speculations have arisen saying that this garlic must have been imported from China. However, many people say that the garlic circulating in Kulonprogo is grown in Kulonprogo. The characteristics are that it is still together or not separated per seed, garlic like this is often called Javanese garlic. The same answer was also expressed by Ibu Tini or what I usually call Bulik Tini in a short chat on the phone.

 

Catfish stall in the middle of the village

Bulik Tini is the younger sister of my late father. Incidentally, among my father’s many siblings, Bulik Tini was the sister I saw most often. Bulik Tini lived in the middle of Yogyakarta, in a densely populated village on the banks of the Code River. Right behind the Santika Hotel. Bulik Tini is a simple person, she opened a Catfish stall in the middle of the village. Initially, Bulik Tini set up a tent to sell on the side of the road, but due to age. She and her husband chose to sell in front of her alley.

One day Bulik Tini sent me a short message on Facebook asking about the garlic she saw in the 4th Panen Raya Indonesia (PARI) ad. Without much questioning, I immediately called her to confirm what she needed. Long story short, Bulik Tini wanted to buy 3 kg of garlic and 1 kg of papaya. Then before closing the conversation, she negotiated the price and we agreed, that she was getting a special price for one reason or another. I told her that her garlic stock might not be enough for 3 kilos and that I would try to weigh it first. As it turned out, there were only 1.5 kilos of garlic available, he jokingly said “Don’t buy too much, let me buy more next week”. We ended the call laughing and talking about onions and life.

Saturday at 8 p.m., I delivered Bulik Tini’s order at her special Catfish stall. When I arrived, she and her husband were waiting for customers in silence. The coldness of the air froze my mind, would this continue to happen in a pandemic situation like this? Then after I handed over all the orders I tried to sit down for a moment, I wanted to hear how Bulik Tini and her business were doing in this difficult time. While buying time, I ordered 3 fried catfish without rice to take home. I always remember that Aning loves to eat catfish. Bulik Tini also serves fried banana, tempeh, tofu and corn bakwan. While I waited, three people came and went. Ordering eggs, tempeh, and tofu. It seems that many people are still interested in buying, although some people choose the more affordable menus. Bulik Tini tells me that customers at her stall have declined following the government’s appeal not to leave the house. Buying power has decreased, perhaps because people are afraid that if they leave the house they will be infected with corona.

Economic difficulties during the pandemic have had a major impact on service or product providers such as Bulik Tini’s catfish stall. The stall, which is located in the middle of the village, is actually still able to run although limping, because the market is the surrounding neighbors. However, this is exacerbated by the fact that many access roads are closed. The government did not declare a lockdown, but various regions decided to close access roads in and out of the village. This indecisiveness has caused confusion among residents. The choice not to issue a lockdown policy is indeed a smart choice because if such a policy emerges, not only residents but also pets will receive benefits during the lockdown period.

Bulik Tini is probably one of the many people in Yogyakarta who feel the impact of the small business sector. She lives her days in the middle of a city that is starting to get crowded with arrogant high-rise buildings. The government’s assertiveness is challenged, as on the one hand we are encouraged to stay at home, but on the other hand, the kitchen must be kept on fire. Despite the risks, some of them choose to continue their activities and work outside their homes. Mortgaging their safety, because staying at home is also a ridiculous choice because they don’t make money.

 

New habits and survival

The last catfish is removed from the pan. The aroma is appetizing, waking up a daydream to dive into Bulik Tini’s story. I asked her if she would be interested if I helped her sell it online. Without thinking, Bulik Tini replied “Yes!”. Like dry grass being watered from a tap, other ideas came and went. I helped Bulik Tini make a list of the items she usually sells at her stall. I also asked if she would be willing to provide a free delivery service within Yogyakarta if anyone bought it. Finally, we discussed the payment system. We were very happy, finding new ideas and hope.

Garlic, shallots, cayenne pepper, and curly chili are staple ingredients for cooking all kinds of dishes. Their availability is needed by the community. The question is how much flexibility farmers have in responding to challenges in the food sector. Given the tsunami of staple food imports, not to mention the problem of land conversion. Evictions threaten farmers’ lands in coastal areas and other strategic areas. They are cornered by the government’s choice to open the widest possible range of investors in the tourism sector. We can see the emergence of new international airports in various regions in Indonesia, accompanied by the continued development of the surrounding airport cities. This has encroached on the surrounding farmlands and livelihoods.

Basic necessities are needed in any situation, especially during this pandemic. When purchasing power decreases, it also affects crop prices. Making farmers even worse off. The choice is up to each of us, to be indifferent and consume whatever is available at the supermarket, or to be more conscientious and choose food ingredients from local farmers around us.

Cara pemesanan

Silahkan klik link WhatsApp dalam setiap info panen dan kebutuhan produk yang ingin anda pesan.

Khusus area Yogyakarta gratis ongkos kirim.

Tulis pesan: